Musikplus – Pemerintah Korea Utara (Korut) dilaporkan telah menjatuhkan hukuman mati dan penjara seumur hidup kepada 30 remaja di negara itu. Hukuman tersebut diberikan karena mereka kedapatan menonton film dan drama Korea (Drakor), mendengarkan musik, serta menirukan pola bicara atau aksen orang Korea Selatan. Hal tersebut diketahui berdasarkan laporan Hak Asasi Manusia Korea Utara yang dirilis oleh Kementerian Unifikasi Korea Selatan, untuk kedua kalinya pada tahun ini.
Dihukum Karena Menonton Drama Korea Selatan
Kementerian Unifikasi menjelaskan, laporan kali ini didasarkan pada kesaksian dari 508 orang pembelot Korea Utara, dan kesaksian dari 141 orang yang baru diselidiki pada tahun 2023 lalu. Laporan itu menyoroti tindakan represif rezim Korea Utara, salah satunya pada pria 22 tahun yang dieksekusi di depan umum karena mendengarkan dan membagikan musik serta drama Korea Selatan.
Dilansir dari Economic Times, Selasa (02/07/2024), pria yang berasal dari provinsi Hwanghae Selatan itu dituduh melanggar undang-undang Korea Utara tahun 2020 yang melarang “ideologi dan budaya reaksioner”.
Ia dinyatakan bersalah karena mendengarkan 70 lagu Korea Selatan, menonton tiga film, dan mendistribusikan media “terlarang” tersebut. Undang-undang ini merupakan bagian dari kampanye yang diklaim untuk melindungi warga Korea Utara dari apa yang dianggap rezim sebagai pengaruh budaya Barat yang merusak.
Pria tersebut dieksekusi di depan umum sekitar tahun 2022, dan dilaporkan keadaan menjadi lebih buruk sejak saat itu. Seorang pejabat pemerintah mengatakan, baru-baru ini ada 50 hingga 60 remaja berusia sekitar 17 tahun tertangkap menonton drama Korea Selatan di Korea Utara.
“Sekitar 30 orang di antaranya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati,” ujarnya dikutip dari TV Chosun (27/06/2024).
Menonton Drakor Dianggap Bisa Menjatuhkan Rezim
Akademisi di Institut Unifikasi Nasional Korea, Oh Kyung-seop mengatakan, menonton film atau drama Korea Selatan dianggap sebagai tindakan yang dapat menjatuhkan rezim Korea Utara, sehingga bisa dihukum dengan sangat keras. Selain itu, dalam laporan yang dirilis Kementerian Unifikasi mengungkapkan, penggunaan ponsel dibatasi dan orang-orang yang menggunakan aksen Korea Selatan akan dihukum.
Seorang wanita atau pembelot dari Korea Utara mengatakan, ponsel yang digunakan di Korea Utara akan diperiksa secara acak dan jika ketahuan menggunakan bahasa gaul atau frasa dari Korea Selatan dapat dikenakan hukuman.
“Anak-anak muda yang lewat bisa ketahuan sedang mengetik pesan atau menggunakan kata-kata yang tidak lazim di Korea Utara akan ketahuan,” ungkapnya.
Selain itu, penggunaan gaun putih atau kacamata hitam di pesta pernikahan, bukan hanbok, juga dihukum karena dianggap bisa mencemarkan ideologi reaksioner.
Korea Utara Sangkal Adanya Pelanggaran HAM
Larangan keras terhadap dunia hiburan Korea Selatan di Korea Utara bukanlah hal baru. Tindakan ini dimulai di bawah mantan pemimpin Kim Jong-il dan semakin intensif di bawah putranya, Kim Jong-un yang saat ini menjadi pemimpin tertinggi di Korea Utara.
Rezim tersebut melihat infiltrasi budaya pop Korea Selatan sebagai ancaman terhadap ideologi yang menuntut kesetiaan penuh kepada dinasti Kim, yang telah memerintah sejak berdirinya Korea Utara pada tahun 1948. Di tingkat internasional, Korea Utara menepis tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, dan menyebutnya sebagai “konspirasi” yang bertujuan untuk mengganggu stabilitas rezim negara tersebut.
Namun, laporan dan kesaksian dari para pembelot menunjukkan gambaran yang mengerikan tentang upaya yang akan dilakukan rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam beberapa minggu terakhir, Korea Utara telah mengirimkan ribuan balon berisi sampah ke perbatasan sebagai balasan terhadap balon Korea Selatan yang membawa selebaran anti-Pyongyang, uang dollar, dan stik USB berisi K-pop dan K-drama.