MUSIK+ — Ada yang berbeda dari gelaran konferensi pers Jakarta International BNI Java Jazz Festival tahun ini.
Bukan karena daftar pengisi acaranya—yang tetap memukau seperti biasa—melainkan karena suasananya.
Ada nuansa hangat yang sulit dijelaskan. Seolah waktu melambat sejenak, mengajak kita menengok ke belakang, ke tahun 2005, ke momen ketika segalanya dimulai dari satu hal sederhana: mimpi.
Dua Dekade Java Jazz: Ketika Mimpi dan Musik Tak Pernah Usai
Java Jazz Festival kini memasuki usia dua puluh tahun. Sebuah tonggak yang bukan hanya mencerminkan umur, tetapi kedalaman perjalanan.
Dari sebuah gagasan yang sempat dianggap terlalu ambisius, menjadi festival musik jazz berskala internasional yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Dalam konferensi pers tersebut, Dewi Gontha—Presiden Direktur Java Festival Production—membuka acara dengan kata-kata yang menyentuh, kemudian memanggil seseorang yang selama ini berada di balik layar kesuksesan Java Jazz: sang ayah, Peter F. Gontha.
“Sebelum lanjut, saya ingin mengundang ayah saya naik ke atas panggung,” ucap Dewi, suaranya terdengar penuh emosi.
Peter naik ke atas panggung bukan sebagai pengusaha, bukan pula sebagai tokoh publik.
Ia berdiri sebagai seorang ayah, seorang pecinta musik, dan seorang pemimpi.
“Saya hanya seseorang yang dulu bermimpi Indonesia bisa punya festival jazz kelas dunia,” katanya singkat, sebelum diam sejenak.
Sorot matanya menerawang jauh, barangkali ke ruang waktu yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang pernah bermimpi dan berani bertaruh segalanya untuk itu.
Peter mengenang awal mula Java Jazz.
Tentang ketidakpercayaan banyak pihak, tentang keterbatasan sumber daya, tentang bagaimana ia harus meyakinkan sponsor dan musisi bahwa festival ini layak diwujudkan.
Tapi ia juga bercerita tentang harapan. Tentang komunitas. Tentang cinta—pada musik, pada negeri ini, dan pada kemungkinan-kemungkinan yang lahir dari ketulusan niat.
Sebagai bentuk penghormatan pada perjalanan dua dekade ini, Peter merilis buku “The Making of Java Jazz Festival”—sebuah karya setebal 506 halaman yang tak hanya berisi dokumentasi sejarah, tapi juga memoar pribadi.
Ditulis dalam bahasa Inggris, buku ini menghadirkan kisah-kisah di balik layar, fragmen-fragmen kecil yang selama ini tersembunyi di balik gemerlap panggung.
Buku tersebut diserahkan langsung oleh Peter kepada SS Budi Rahardjo, Pemimpin Redaksi Majalah MATRA sekaligus CEO Majalah EKSEKUTIF, sebagai bentuk terima kasih kepada media yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan Java Jazz.
“Media bukan hanya peliput, mereka adalah saksi. Bahkan sering kali, mereka yang pertama kali percaya pada mimpi ini,” ujar Peter.
Buku ini tidak dijual. Ia akan dibagikan secara gratis kepada para mitra, sponsor, dan media sebagai bentuk penghargaan atas kepercayaan dan kerja sama yang telah terjalin selama 20 tahun.
Karena bagi Peter, festival ini tidak mungkin berdiri sendiri. Ia dibangun oleh banyak tangan—yang bekerja dalam diam, yang tidak selalu terlihat kamera, tapi selalu hadir dalam semangat.
Java Jazz, katanya, adalah kerja kolektif. Dari relawan yang mengatur logistik hingga produser yang menyusun line-up, dari teknisi suara hingga penyedia makanan, semuanya punya peran. Dan semuanya punya cerita.
Dalam bukunya, Peter juga mengajak pembaca untuk menyusuri kenangan pribadinya.
Dari masa remaja ketika jatuh cinta pada jazz, pertemuannya dengan musisi-musisi lokal, hingga bagaimana ia mengenang istrinya, Purnama—sosok yang selalu mendukung dalam diam.
Juga tentang bagaimana ia melihat putrinya, Dewi, tumbuh dan kini memimpin festival ini dengan caranya sendiri.
Java Jazz bukan hanya festival. Ia adalah ruang temu. Ruang nostalgia. Ruang harapan.
Tahun 2025 ini, Java Jazz kembali akan digelar pada 30 Mei hingga 1 Juni di Jakarta.
Tapi kali ini, ia membawa satu makna tambahan: bahwa mimpi yang dijaga dengan cinta akan terus hidup.
Dan musik, seperti kehidupan itu sendiri, selalu menemukan caranya untuk bertahan.
Seperti jazz yang lahir dari kebebasan dan keberanian bereksplorasi, Java Jazz Festival berdiri sebagai bukti bahwa Indonesia bisa.
Bahwa kita mampu membangun panggung bagi talenta lokal dan internasional, menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara kenangan dan kemungkinan.
Dan di atas semua itu, Java Jazz adalah tentang manusia. Tentang mereka yang percaya pada mimpi, yang bekerja tanpa pamrih, dan yang tahu bahwa di balik setiap nada, ada cinta yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Karena musik, pada akhirnya, adalah cara kita mencintai dunia.